Mari bersama sama kita sukseskan acaranya

 


Kisah Ampang Limo Padanglua Melawan Penjajahan Belanda



Oleh : Hendri Sutan Mandaro

Padanglua salahsatu koto yang berada di Nagari tiga koto, kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Ampang Limo padanglua merupakan pahlawan bagi penduduk padanglua yang berjuang mempertahankan adat, sako dan pusako, dan jati diri rakyat Tanah Datar khususnya Padanglua dari penjajahan Belanda. 

Ampang Limo Padanglua adalah lima pemimpin perang Padanglua atau juga dikenal dengan Perang Batusangkar pada tahun 1908. Lima pemimpin tersebut ialah Datuak Saniguri, Datuak Paduko Bandaro, Datuak Maragang Sati, Datuak Rajo Batuah dan Datuak Paduko Basa. 

Pecahnya perang Batusangkar pada tanggal 13 Februari 1908, merupakan puncak perlawanan rakyat padanglua dari penjajahan Belanda yang memainkan politik Cultuur Stelsel, kerja rodi dan memberlakukan Blasting kepada seluruh rakyat untuk memperkaya dan membangun negeri Belanda.

Berawal dari 10 Maret 1907, Datuak Saniguri dan 4 kawannya mengadakan rapat pertama untuk melawan penjajahan Belanda dengan membangun semangat jihad dan menerangkan semua tipu daya Belanda terhadap rakyat khususnya di Padanglua di Nagari 3 Koto. Hasil dari rapat tersebut sepakat mengangkat 5 orang Datuak tersebut sebagai pemimpin mereka dalam melawan kekejaman Belanda.

Untuk membuktikan keseriusan dan semangat juang Ampang Limo ini, mereka mangajak 25 orang pengikutnya untuk memancing serdadu Belanda ke salah satu bukit yang ada di Padanglua, sehingga terjadinya perlawanan serdadu belanda dengan pasukan Datuak Saniguri serta berhasil membunuh 3 orang serdadu belanda dan menguburkan Kuda yang di bawa Belanda di bukit tersebut. Hingga sekarang, bukit tersebut diberi nama Bukik Kuburan Kudo (Bukit Kuburan Kuda).

Setelah kejadian Bukit Kuburan Kuda semangat dari rakyat Padanglua untuk melawan penjajah Belanda semakin kuat, sehingga lima Datuak tersebut berangkat ke Malalo untuk menambah ilmu agamanya yang dipimpin oleh Tuanku Lima Puluh. Selama di Malalo Datuak Saniguri dan 4 Datuak lainnya menceritakan pengalaman jihadnya melawan serdadu Belanda di Bukit Kuburan Kuda, sehingga timbul semangat anti pemerintahan Belanda di Malalo.

Dari Malalo Datuak Saniguri dan kawan-kawannya pergi bersafa ke Ulakan di Pauh Kamba. Di Ulakan, 5 orang Datuak tersebut bertemu dengan temannya dari Mangopoh yang sudah lama berteman dengan Datuak Saniguri, mereka juga menceritakan kisah kejadian di Padanglua dan rencana selanjutnya. Setelah bersafa di Ulakan mereka berangkat ke negeri Kamang Luhak Agam untuk menemui temannya Tuanku Nan Renceh dan H. Abdul Manan. Selama di Kamang Datuak Saniguri dan 4 Datuak lainnya menjelaskan semua niat perjuangannya terhadap penjajahan Belanda sehingga membuat Tuanku Nan Renceh dan H. Abdul Manan berjanji untuk bersama-sama berjuang melawan penjajahan belanda di Nagari masing-masing.

Setelah dari Kamang 5 Datuak pulang ke Padanglua untuk menyusun rencana dan siasat melawan Belanda kembali, sama seperti sebelumnya Datuak Saniguri dan kawan-kawannya serta 25 orang pengikut sebelumnya membuat siasat memberi kabar ke serdadu Belanda kalau datuak Saniguri dan kawan-kawannya telah terlihat di bukit Batu Besi Kecil yang bernama Titi Tarung-tarung sekarang. Mendengar kabar tersebut serdadu Belanda sangatlah Bahagia sehingga menyusun rencana dengan serdadu lainnya untuk mengepung Datuak Saniguri, Datuak Paduko Bandaro, Datuak Rajo Batuah, Datuak Maragang Sati dan Datuak Paduko Basa di Titi Tarung-tarung.

Pada malam bersejarah itu, dari siasat dan strategi yang disusun oleh 5 Datuak dan juga atas pertolongan Allah, Datuak Saniguri dan Kawan-kawannya kembali memenangkan pertempuran tersebut di Titi Tarung-tarung yang terletak di perbatasan Nagari Simawang dengan Nagari Padanglua. 25 orang pengikut Datuak Saniguri diperintahkan untuk menguburkan serdadu Belanda dilokasi yang sudah disiapkan sebelumnya, sehingga penguburan tidak begitu memakan waktu lama. Waktu yang sudah hampir pagi mereka turun dari Titi Tarung-tarung dengan cara berpencar agar tidak dicurigai oleh siapapun. Sedangkan Datuak Saniguri dan Kawan-kawannya berangkat langsung menuju Talago Gunung untuk menemui salahsatu gurunya untuk beristirahat dan mengobati luka-luka dari pengikutnya.

Kejadian malam itu membuat Van Goord pusing karena serdadunya tidak pulang dari semalam, karena pengalaman tersebut membuat Van Goord dan serdadunya yang lain gelisah dan tidak mau gegabah mengambil tindakan yang akhirnya membuat keputusan untuk pulang ke Batu Sangkar. Sedangkan Datuak Saniguri dan Kawan-kawannya mendengar kabar Van Goord dan serdadunya pulang ke Batusangkar, mereka juga pulang ke Padanglua untuk mengadakan Rapat kembali dengan pengikut lainnya.

Dirapat kedua ini pada tanggal 1 Mai 1907 semangat jihad Ampang Limo dan pengikutnya semakin jelas dan terukur sehingga mulai mengirimkan surat-surat kepada seluruh Kawan-kawan Datuak Saniguri di setiap Nagari yang ada. Surat tersebut berisi mengajak berjuang untuk melawan Penjajahan Belanda. Selama Ampang Limo Padanglua mengatur siasat, Van Goord juga mengirimkan surat kepada Datuak Saniguri melalui Kepala Nagari 3 koto yang isinya mengajak untuk berdamai, tapi Datuak Saniguri tidak mau menerima perdamaian itu. Karena sudah 4 kali Van Goord mengirimkan surat tampa balasan dari Datuak Saniguri, membuat Van Goord geram dan memiliki rencana licik untuk menahan anak keponakan dari 5 Datuak tersebut. Beberapa bulan tidak ada jawaban juga dari Datuak Saniguri dan kawan-kawannya, Van Goord dan serdadunya menangkap anak keponakan dari 5 Datuak dan di bawa ke Batusangkar. Surat ke lima dikirimkan kembali oleh Van Goord, jika pada tanggal 20 Februari 1908 Datuak Saniguri dan Kawan-kawannya tidak datang menemui Asisten Residen A. Raed Van Older Barneveld di Batusangkar, maka anak keponakan mereka tidak akan dilepaskan.

Mendengar kabar anak keponakan nya ditangkap dan ditahan oleh Van Goord di Batusangkar, Ampang Limo kembali mengadakan rapat pada tanggal 12 Februari 1908. Hasil dari rapat tersebut dibuatlah surat ke Nagari Balimbiang, Sawah Kareh, Simabua, Pariangan serta Nagari lainya yang dianggap kawan seperjuangan oleh Datuak Saniguri. Yang mana isi surat tersebut meminta bantuan dalam perjuangan yang akan dilakukan mereka pada tanggal 13 Februari 1908 hari senin setelah Shalat Subuh. Malam sebelum pecahnya perang di Batusangkar surat-surat yang dikirimkan itu mendapatkan jawaban dan sambutan baik dari beberapa Nagari yang menerima surat dari Datuak Saniguri untuk membantu perjuangan tersebut, dalam melawan penjajahan Belanda. Dengan isi surat dari beberapa Nagari itu, membuat niat dan keyakinan Ampang Limo Padanglua dan pengikutnya semakin membara untuk terus maju melawan penjajahan yang dilakukan Belanda.

Keesokan harinya setelah Shalat subuh mereka mempersiapkan diri untuk berangkat ke Batusangkar, setiap koto dan Nagari yang dilewati pasukan dari Datuak Saniguri dan kawan-kawannya terus bertambah sehingga berjumlah kurang lebih 150 orang. Selama perjalanan ke Batusangkar itu juga, ternyata Van Goord dan serdadunya membuat fitnahan selama ini kepada Datuak Saniguri dan Kawan-kawannya, bahwa 5 Datuak itu adalah seorang perampok dan pengkhianat. Karena Datuak Saniguri dan 4 Datuak lainnya adalah seorang yang ta'at dalam ibadah dan takut akan murkanya Allah membuat peraturan sebelum berangkat ke Batusangkar. Bahwa, sepanjang perjalanan setiap makanan dan minuman yang di ambil dari warung-warung harus dibayar. Dengan watak dan sikap Datuak Saniguri dan 4 Datuak lainnya itu membuat warga setempat merasa curiga akan perkataan serdadu Belanda yang selama ini disampaikan kepada mereka, karena mereka melihat tidak ada sama sekali terbukti perkataan itu kalau Datuak Saniguri dan kawan-kawannya seorang perampok dan pengkhianat. Datuak Saniguri sempat berbincang dengan pemilik warung bahwa Datuak Saniguri tidak ingin makan dan minum tampa membayar.

Didalam perjalanan, sesampai di bukit Sianguk Pabalutan Nagari Rambatan, rombongan mereka bertemu dengan 2 orang yang bernama Muhammad Amin Datuak Marajo Kayo yang memiliki jabatan pada waktu itu sebagai Tuanku Lareh Pariangan yang berkedudukan di Simabua dan Kepala Nagari Rambatan dimasa itu. Mereka berdua memberikan nasehat kepada Datuak Saniguri dan kawan-kawannya. Mereka berdua menyampaikan bahwa, janganlah saudara meneruskan maksud dan tujuan saudara untuk pergi ke Batusangkar dengan tujuan mengadakan perlawanan dengan serdadu Van Gord. Karena, menurut Tuangku Lareh Pariangan dan Kepala Nagari Rambatan, Van Goord dan Asisten Residen di Batusangkar sudah menambah pasukan dari Padang Panjang dan Bukit Tinggi dengan persenjataan lengkap. Sedangkan senjata pasukan Datuak Saniguri dan kawan-kawannya hanyalah pisau, parang dan tombak.

Mendengar nasehat dari Tuanku Lareh Pariangan, Datuak Saniguri menoleh ke pengikutnya dan menyampaikan nasehat-nasehat yang didengarkanya itu. Setelah Datuak Saniguri menjelaskan apa yang disampaikan oleh Tuanku Lareh Pariangan kepada pengikutnya, pengikutnya menjawab "kita tidak akan kembali pulang, karena bak pituah, alun pai lah babaliak pulang (belum pergi sudah berbalik pulang), itu adalah pantangan anak laki-laki Minang". Mendengar ucapan para pengikutnya, Datuak Saniguri dan kawan-kawannya serta pengikutnya melanjutkan perjalanan ke Batusangkar.

Dalam perjalanan yang cukup panjang, sampailah di Batusangkar rombongan dari Datuak Saniguri. Warga Batusangkar disekitar lingkungan kantor Asisten Residen A. Raed Van Older Barneveld mengetahui kedatangan Datuak Saniguri dan pasukannya, membuat mereka takut dan menutup warung-warung, begitu juga bendi dan padati yang biasa berkumpul di area kantor Asisten Residen bergeges untuk pulang, yang menjadi Batusangkar ketika itu kelihatan sepi.

Setibanya Datuak Saniguri dan rombongannya di kantor Asisten Residen Tanah Datar di Batusangkar, Datuak Saniguri membawa 4 kawannya dan beberapa panghulu untuk menghadap Asisten Residen dan Van Goord. Asisten Residen melihat kedatangan banyak rombongan kekantornya menaruh curiga dan ketakutan siapakah gerangan yang berani datang membawa pasukan ke kantor Asisten Residen dengan perlengkapan pisau, parang dan tombak. Ketika Datuak Saniguri berhadapan dengan Asisten Residen A. Raed Van Older Barneveld, beliau mengatakan "saya adalah Datuak Saniguri dan kawan saya Datuak Rajo Batuah, Datuak Paduko Bandaro, Datuak Maragang Sati dan Datuak Paduko Basa yang tuan cari selama ini di Padanglua dan sekarang saya datang kesini untuk memenuhi panggilan tuan dengan surat ini (surat ancaman kepada Datuak Saniguri dan kawan-kawannya untuk menghadap, jika ingin anak keponakan mereka dilepaskan)" sekaligus menunjukan surat itu kepada Asisten Residen Tanah Datar.

Surat panggilan kepada Datuak Saniguri dan kawan-kawannya selambat-lambatnya adalah tanggal 20 Februari 1908. Tapi Datuak Saniguri dan kawan-kawannya tidak akan datang pada tanggal yang ditentukan itu, karena persiapan Asisten Residen pasti akan lebih matang lagi untuk mengepung Ampang Limo tersebut dan pasukannya. Ternyata apa yang disampaikan oleh Tuanku Lareh Pariangan sebelumnya, sewaktu dalam perjalan ke Batusangkar benar adanya. Bahwa, Asisten Residen dan Van Goord sudah mendapat kabar sebelumnya, kalau Datuak Saniguri akan menyerang Kantor Asisten Residen Tanah Datar jika anak keponakan mereka tidak dilepaskan. Dengan demikian, Asisten Residen meminta bantuan tambahan pasukan dari Padang Panjang dan Bukit Tinggi. Adanya kejadian dan persiapan ini, berarti surat yang dikirimkan oleh Datuak Saniguri ke beberapa Nagari pada tanggal 12 Februari 1908, sehari sebelum keberangkatannya sudah bocor ke Belanda. 

Setelah Asisten Residen mendengar ucapan Datuak Saniguri, dia meninggalkan Datuak Saniguri dan kawan-kawannya sambil berbicara bahasa Belanda dengan serdadu pengawalnya pada waktu itu. Tampa disangka ternyata salahsatu serdadu Belanda menarik Datuak Saniguri dari belakang dengan perlakuan kasar kekeluar ruangan Asisten Residen. Dengan perlakuan serdadu Belanda tersebut, membuat 4 Datuak lainnya marah sehingga terjadilah perkelahian antara Ampang Limo Padanglua dengan serdadu Belanda di dalam kantor Asisten Residen Tanah Datar. Seketika itu juga, terdengar bunyi bedil/senjata yang berdentum di luar kantor Asisten Residen, membuat Datuak Saniguri keluar dan berteriak untuk memerintahkan rombongannya maju. Terjadilah pertempuran yang sangat sengit tapi tak seimbang yang mana pasukan Belanda dibekali dengan senjata/bedil sedangkan pasukan dari Datuak Saniguri hanya pisau, parang dan tombak. 

Walaupun demikian semangat mereka terlihat pantang mundur dan terus mengejar serdadu Belanda ke pangkal bedilnya, seperti kata pepatah yang selalu di gaungkan oleh Datuak Saniguri dan kawan-kawannya "Takuik jo Badia, Pai Ka Pangka Badia (Takut dengan bedil/senjata, lari kepangkal bedil/senjata)". 

Dalam pertempuran itu ternyata Datuak Saniguri dan Datuak Rajo Batuah dapat di tawan oleh serdadu Belanda, pasukan Belandapun semakin bertambah keluar dari balik pepohonan dan tembok-tembok dekat kantor Asisten Residen Tanah Datar. Karena ditawannya Datuak Saniguri, Datuak Saniguri meneriakan mundur kepada pasukannya, begitu juga kepada 3 Datuak yaitu Datuak Maragang Sati, Datuak Paduko Bandaro dan Datuak Paduko Basa untuk mundur dengan niat agar perlawanan selanjutnya mereka masih dapat memimpin kembali menyusun rencana. Dengan teriakan dari Datuak Saniguri, 3 Datuak tersebut dapat melarikan diri demi melanjutkan perjuangan mereka meskipun Datuak Saniguri dan Datuak Rajo Batuah ditahan. Pasukan lainnya, karena sudah terkepung mereka menjawab teriakan Komando Datuak Saniguri "kami mencari mati syahid" mereka gugur dalam pengepungan tersebut karena berusaha merebut bedil dari serdadu-serdadu Belanda. 

Adapun yang gugur, pasukan dari Datuak Saniguri dalam perperangan di kantor Asisten Residen Tanah Datar pada tanggal 13 Februari 1908 sekitar 26 orang, yang tercatat namanya kurang lebih 21 orang adapun yang selamat dan terluka sekitar 20 orang yang tercatat namanya hanya sekitar 13 orang. Mengingat pasukan Ampang Limo Padanglua sebelumnya tercatat kurang lebih 150 orang, sampai sekarang tidak diketahui apakah gugur dalam perang batusangkar tersebut atau dapat melarikan diri.

Pasukan yang gugur dalam pertempuran antara pasukan Datuak Saniguri dengan Pasukan Belanda dikuburkan di sebelah lekuk belakang kantor Komres Kepolisian 317 setentang dengan kantor Jawatan Sosial Batusangkar ketika itu. Orang-orang yang ditawan oleh serdadu Belanda di Padanglua sebelumnya yaitu anak keponakan Datuak Saniguri dan 4 Datuak lainnya dibebaskan dan disuruh pulang oleh Asisten Residen Tanah Datar ke Padanglua. Adapun Datuak Saniguri dan Datuak Rajo Batuah yang ditahan akhirnya di sidangkan di pengadilan Belanda Batusangkar dan menjatuhkan hukuman kepada dua Datuak tersebut dengan hukuman seumur hidup dan di asingkan ke Manado. Keputusan pengadilan Belanda tersebut hanya dapat dirubah atas keputusan Guvernur General di Betawi yaitu Jakarta sekarang.

Posting Komentar

0 Komentar